Selasa, 31 Januari 2012

Hidup nan Bermakna


Letakkan sejenak pensilmu,tutuplah sebentar bukumu,simpanlah sejenak Handphonmu,tapi jangan matikan layarmu,,
Dan cobalah pahami tulisan ini,,,,,,,,,,

 Kita semua punya mimpi, dan kita sedang berlari mewujudkanya.
Tapi sesungguhnya hidup bukan hanya proses mewujudkan mimpi dan berakhir ketika mimpi itu terwujud
Waktu yang Tuhan berikan pada kita tidak akan pernah cukup untuk memahami kehidupan ini.
Kehidupan ini memiliki beragam cerita yang indah,,, Cerita itu menunggu kita untuk memasukinya.
Cerita itu kan memberimu sebuah kenangan indah ketika semua usai.
Yang membuatmu tertawa,dan menangis kelak,mengenang betapa indahnya hidup.
Terlalu sia sia hidup,jika kita hanya menghabiskan waktu pada satu proses mewujudkan mimpi.
terlalu banyak waktu yang kita habiskan untuk mewujudkan mimpi itu.
hingga kita sadar hanya tersisa sedikit waktu untuk menikmati hidup,ketika kita sukses.
Atau mungkin ajal kan menjemput kita,ketika sukses,,
Atau bahkan sebelumnya,,,
Cobalah nikmati setiap laju kehidupan.
Karena kematian tak pernah menunggu "Hidup kita menjadi bermakna" dengan berbagai mimpi yang terwujud.
Jika kita tidak berhenti sejenak untuk menikmati kehidupan,sesungguhnya kita akan kehilangan arti dari kehidupan itu sendiri.
Karena sesungguhnya hidup bukan hanya tentang kesuksesan,tapi juga tentang keindahan,,,
Cobalah warnai hidupmu,masuklah ke dalam sebuah cerita indah,
hingga setidaknya ada cerita hebat yang bisa menidurkan cucumu kelak
Hingga setidaknya ada cerita indah yang bisa membuat istrimu tersenyum
Atau cerita luar biasa yang bisa membuat dunia tak bisa melupakanmu
Percayalah bahwa orang yg hidupnya bermagna adalah orang yang mempunyai banyak kenangan.
Karena hati kita cenderung mengenang sesuatu yang indah
Dengan banyaknya kenangan yang tersimpan di hati
Setidaknya telah banyak keindahan yang kita lewati
Seperti seperti cerita luar biasa itu,,,

Oleh karena itu kami "Naik Gunung"
Bagaimana Hidupmu ???

Senin, 30 Januari 2012

Hargai Hidup Dengan Berpetualang

Ada satu pepatah, bahwa mereka yang gemar berpetualang di alam bebas adalah orang - orang yang mencintai kematian. Benarkah? Sebenarnya idiom salah, karena berpetualang itulah yang menghargai hidup. Ada satu keinginan untuk memberi arti dan nilai dalam hidup. Dan rasanya benar jika seorang filsafat mengatakan: "Di tengah hutan dan di alam bebas, aku merasa menjadi manusia kembali"

Petualang yang tewas di gunung ( kegiatan alam bebas lainnya ), bukanlah orang yang mencintai kematian. Kematiannya itu sebenarnya tak berbeda dengan kematian orang lain yang tertabrak mobil di jalan raya atau terbunuh perampok. "Yang pasti, Mereka tewas justru dalam usahanya untuk menghargai kehidupan ini. ” Hidup itu harus lebih dari sekedarnya ”

Bagi orang awam, kiprah petualang seperti Pendaki Gunung selalu mengundang pertanyaan klise : mau apa sih ke sana ?. Pertanyaan sederhana, tetapi sering membuat bingung yang ditanya, atau bahkan mengundang rasa kesal. George F Mallory, pendaki gunung terkenal asal Inggris, mungkin cuma kesal saja ketika menjawab : because it is there, karena gunung ada!, Mallory bersama seorang temannya, menghilang di Pucuk Everest pada tahun 1924.

Rata Penuh Beragam jawaban boleh muncul, Soe Hoek Gie , salah seorang pendiri Mapala UI, menulisnya dalam sebuah puisi : " Aku Cinta Padamu Pangrango, Karena Aku cinta Keberanian Hidup ". Bagi pemuda ini, keberanian hidup itu harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Soe Hok Gie tewas bersama seorang temannya Idhan Lubis, tercekik gas beracun dilereng kerucut Mahameru, Gunung Semeru, 16 Desember 1969, dipelukan seorang sahabatnya, Herman O Lantang.

Pemuda aktif yang sehari - hari terlibat dalam soal - soal pelik di dunia politik ini mungkin menganggap petualangan di gunung sebagai arena untuk melatih keberanian menghadapi hidup. Mungkin pula sebagai pelariannya dari dunia yang digelutinya di kota. Herman O Lantang yakin bahwa sahabatnya itu meninggal dengan senyum dibibir. " Dia meninggal ditengah sahabat - sahabatnya di alam bebas, jauh dari intrik politik yang kotor " ujarnya.

Motivasi melakukan kegiatan di alam bebas khususnya Mendaki Gunung memang bermacam macam. Manusia mempunyai kebutuhan psikologis seperti halnya kebutuhan - kebutuhan lainnya: Kebutuhan akan pengalaman baru, Kebutuhan untuk berprestasi, dan Kebutuhan untuk diakui oleh masyarakat dan bangsanya. Mendaki gunung adalah salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan - kebutuhan itu, disadari atau tidak. Semua ini sah, tentu saja.

Sebenarnya yang paling mendasar dari semua motivasi itu adalah rasa ingin tahu yang menjadi jiwa setiap manusia. Rasa ingin tahu adalah dasar kegiatan mendaki gunung dan petualangan lainnya. Keingin - tahuannya setara dengan rasa ingin tahu seorang bocah, dan inilah yang mendorong keberanian dan ketabahan untuk menghadapi tantangan alam. Tetapi apakah sebenarnya keberanian dan ketabahan itu bagi Pendaki Gunung ?

Peter Boardman, Pendaki Gunung asal Inggris, menjadi jenuh dengan pujian - pujian yang bertubi - tubi, setelah keberhasilannya mencapai Puncak Everest melalui Dinding Barat Daya yang sulit di tahun 1975. Peter Boardman yang kemudian hilang di Punggung Timur Laut Everest tahun 1982 menulis arti Keberanian dan Ketabahan baginya.
" Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk menghadapi kehidupan sehari - hari yang sebenarnya lebih kejam daripada bahaya pendakian yang nyata. Ketabahan dibutuhkan lebih banyak untuk bekerja di kota daripada mendaki gunung yang tinggi."

Keberanian dan Ketabahan yang dibutuhkan ketika mendaki gunung cuma sebagian kecil saja dari hidup kita. Bahaya yang mengancam jauh lebih banyak ada didunia peradaban, di perkotaan ketimbang digunung, hutan, dalam goa, dan dimana saja di alam terbuka. Di dunia peradaban modern, di kota, begitu banyak masalah yang membutuhkan Keberanian dan Ketabahan untuk menyelesaikannya. Di gunung, masalah yang kita hadapi hanya satu : "Bagaimana mencapai puncaknya, lalu turun kembali dengan selamat."


George F. Mallory, Soe Hoek Gie , Idhan Dhanvantari Lubis , Norman Edwin , Didiek Samsu, Peter Boardman, Budi Laksmono, dan banyak lagi petualang dan penjelajah alam bebas lainnya yang gugur dalam misinya, Mereka semua adalah yang sangat menghargai KEHIDUPAN !

" HIDUP ADALAH SOAL KEBERANIAN MENGHADAPI YANG TANDA TANYA, TANPA KITA MENAWAR. TERIMA DAN HADAPILAH " ( Soe Hoek Gie )

Kenangan Dalam Pendakian

Mendaki gunung, menempuh rimba, semakin terasa dalam saat membawa kenangan pendakian itu menuju turun dan pulang kembali ke rumah. Banyak kita jumpai para petualang pendaki gunung, carriernya penuh dengan barang - barang milik alam, dengan maksud sebagai kenangan tentu saja, bahwa dia pernah menapaki gunung tersebut. Tak ada yang salah memang, selama itu demi kebaikan dan juga berimbas baik buat alam yang kita kunjungi.


Contoh, semisal kita menuju Gunung Argopuro , kita bisa membawa pulang bulu Merak yang banyak tersebar, tetapi jangan mencabut dari Merak yang masih hidup. Kasihan. Atau paling tidak, kita bisa membawa pulang batu - batuan, seperti di Merapi, yakni batuan kapur di atas Pasar Bubrah atau di Welirang, kita bisa mengambil batu - batuan belerangnya. Asalkan jangan membawa pulang batu - batuan ber truk - truk! Tetapi, yang lebih bijak adalah kita bisa mengambil kenangan saat berada di tengah gunung, yakni ambillah foto!

Jangan ambil apapun kecuali gambar, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak kaki dan jangan bunuh apapun kecuali waktu.

Membuat pilu tatkala tas ransel pendaki banyak terisi bunga Edelweis! Yang alasannya untuk kenangan bahwa pernah sampai puncak gunung tersebut. Itulah yang namanya merusak dan sejatinya bukan pecinta alam seperti yang di jadikan nama organisasinya dan di sandangnya dalam pendakian gunung.

Sebaiknya tak perlu kita turun membawa barang milik alam. Tinggalkan kenangan baik bagi alam dan pecintanya. Bahwa kita manusia yang peduli dan juga mencintai alam setulus dan sepenuh hati

Cintailah Lingkungan Kita

Cinta lingkungan, sebuah fenomena mudah, tetapi kadangkala menjadi susah karena di lupakan. Banyak cara agar kita terlihat dan menjadi bijaksana, paling tidak bijaksana memperlakukan alam lingkungan kita. Kata -kata yang sekali lagi mudah, tetapi sudahkah kita bisa menerapkannya?. Paling sederhana dalam berperilaku adalah membuang sampah dan tata caranya.


Sampah adalah produk sisa yang kita hasilkan sehari - hari. Beberapa kali kita lihat informasi mengenai proses pengolahan sampah menjadi barang yang kembali bermanfaat, misalnya: untuk kompos pertanian, apabila wujud sampahnya berupa sampah organic. Yang sulit adalah pengolahan sampah non organic, misalnya: bungkus makanan kecil.

Kita melihat kesukaan anak - anak pada jajanan berbungkus plastik telah memperbanyak jumlah sampah di jalanan dan got - got saluran air kotor. Sudah menjadi ‘kewajaran’ bila pemandangan di sekitar halaman sekolah, sekitar kios atau warung perumahan, dipenuhi oleh sampah - sampah plastik tersebut. Anak - anak itu tampak biasa saja membuang kantong plastik kosong bekas wadah minumannya ke jalan, berikut sedutannya, begitu pula kantong plastik kemasan makanan keripiknya. Pada sisi lain para pedagang tidak menyiapkan kotak tempat sampah di sebelah warungnya.
Beberapa saat lalu, aku melihat seorang gadis membuang sampah di jalan lewat jendela mobilnya. Kelakuan membuang seenaknya, tanpa perasaan risih ternyata juga dimiliki oleh kalangan orang dewasa, si gadis dengan ‘entheng’ melemparkan sampah kotor tersebut keluar jendela tanpa memikirkan : ‘seorang pengendara motor akan tertimpuk sampah yang dilempar itu’. Pada kesempatan lain, seorang nyonya besar dengan entengnya membuang kertas tissue melalui jendela mobil sedan mewahnya, bahkan gelas kosong bekas minuman mineral.
Apakah mereka tidak menyiapkan kantong plastik ‘kresek’ untuk menampung sementara sampah selama perjalanan, untuk selanjutnya membuang di tempat sampah akhir setelah sampai di tujuan ?. Menurut protokoler masyarakat negeri maju, ketentuan berperilaku ‘modern’ seharusnya menyertai produk teknologi modern yang mereka kendarai sehari - hari. Inilah yang disebut tak bijaksana, bahkan cenderung bodoh.

Sekarang ini, lihatlah di sudut - sdudut perkotaan maju, justru sampah di abaikan, banyak yang teronggok tanpa ada yang menyentuhnya agar bersih dan terjaga dari sakit. Kantung plastik yang paling banyak terlihat, yang pada dasarnya sebuah sampah yang sulit di cerna oleh alam. Darimanakah asal kantung - kantung sampah tersebut ? Jawaban yang mengusik nurani kita adalah, apakah ini berasal dari penumpang - penumpang mobil yang membawa sampahnya dari rumah, lalu sambil lewat di jalan tersebut mereka sekalian membuangnya keluar ? apabila memang benar, apakah operasional pemungutan sampah tidak berjalan dengan baik di lokasi perumahan sekitar kawasan tersebut ?

Kebiasaan membuang sampah semaunya ini ternyata tidak ditemukan dikawasan - kawasan non - terpelajar, namun justru berlangsung di kawasan - kawasan elit. Bahkan pada masyarakat kecil nirsekolah kita lihat, justru mereka lebih bertanggung jawab membuang sampah pada halaman rumahnya , mengubur, atau mengolahnya, tanpa mengotori ekosistem. Perilaku ‘menyampah’ yang masih melekat pada masyarakat kota ternyata sangat sulit dihilangkan. Bahkan ini dilakukan oleh semua kalangan umur dan semua level sosial. Sudah saatnya kita memulai gerakan : Jeda sejenak dari rutinitas sehari - hari kita untuk bersi - bersih lingkungan. Kita beramai - ramai memunguti bungkusan - bungkusan sampah yang terserak di lingkungan rumah tinggal kita sejauh radius 500 meter.

Cobalah lihat dan pasti sering kita jumpai, seorang bapak tua nan enerjik, di jalanan, yang hingga saat ini masih berkeliling kota naik sepeda, setiap hari, sambil membawa pengki dan sapu ijuk, ikut serta membersihkan sampah di tepian jalan dalam cakupan radius puluhan kilometer dari rumahnya, demi rasa cintanya pada kota tanpa ada yang mengupahnya. Sebab beliau melakukannya atas panggilan hati. Mengapa kita tak bisa?